Sabtu, 18 April 2020

Perlawanan Rakyat Banjar Terhadap Belanda

Di Kalimantan Selatan pernah berkembang Kerajaan Banjar atau Banjarmasin yang meliputi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah sekarang. Pusatnya ada di Martapura. Kesultanan ini memiliki posisi yang strategis dalam kegiatan perdagangan dunia. Hal ini terutama karena adanya hasil-hasil seperti emas dan intan, lada, rotan dan damar.

Hasil-hasil Kerajaan Banjar termasuk produk yang diminati oleh orang-orang Barat salah satu pihak yang berambisi untuk menguasai Banjarmasin adalah Belanda. Pada tahun 1817 terjadi perjanjian antara Sultan Banjar (Sultan Sulaiman) dengan pemerintah Hindia Belanda. Sultan Sulaiman harus menyerahkan sebagian wilayah Banjar kepada Belanda.

Wilayah kekuasaan Kesultanan Banjarmasin semakin sempit, menurut perjanjian yang diadakan tanggal 4 Mei 1826 antara Sultan Adam Alwasikh dengan Belanda, menetapkan bahwa daerah Kesultanan Banjar tinggal daerah Hulu Sungai, Martapura, dan Banjarmasin.

Wilayah yang semakin sempit itu telah membawa beban hidup mereka semakin sulit. Untuk mengatasi kesulitan ini maka mereka menaikkan pajak. Dengan demikian rakyat menjadi sasaran eksploitasi baik dari pemerintah kolonial maupun para pejabat kerajaan. Rakyat juga diperintahkan untuk melakukan kerja wajib.

Penyebab Terjadinya Perang Banjar
Sebab – sebab Umum
  1. Rakyat tidak senang dengan merajalelanya Belanda yang mengusahakan perkebunan dan pertambangan di Kalimantan Selatan.
  2. Belanda terlalu banyak campur tangan dalam urusan intern kesultanan.
  3. Belanda bermaksud menguasai daerah Kalimantan Selatan karena daerah ini ditemukan pertambangan batubara.

Sebab – sebab Khusus
  1. Belanda ikut campur dalam pemerintahan sultan Banjar, yang seharusnya menjandi pangeran adalah pangeran Hidayatullah. Tahun 1857 Sultan Adam meninggal. Dengan sigap Residen E.F. Graaf von Bentheim Teklenburg mewakili Belanda mengangkat Tamjidillah sebagai sultan dan Pangeran Hidayatullah diangkat sebagai mangkubumi dan Pangeran Anom dibuang ke Bandung.
  2. Faktor ekonomi. Belanda melakukan monopoli perdagangan lada, rotan, damar, serta hasil tambang yaitu emas dan intan.
  3. Faktor politik. Belanda ikut campur urusan tahta kerajaan yang menimbulkan berbagai ketidak senangan. Pengangkatan Tamjidillah sebagai Sultan Banjarmasin menimbulkan protes dan rasa kecewa dari berbagai pihak. Tamjidillah menghapus hak-hak istimewa pada saudarasaudaranya termasuk menganggap tidak ada surat wasiat dari Sultan Adam kepada Pangeran Hidayatullah.

Salah satu gerakan protes dan menolak pengangkatan Tamjidillah dipelopori oleh Penghulu Abdulgani. Pangeran Hidayatullah yang diangkat sebagai mangkubumi ternyata selalu disisihkan dalam berbagai urusan. Selain itu juga muncul terjadi gerakan di pedalaman yang dipelopori oleh Aling atau Panembahan Muning yang menginginkan agar Kesultanan Banjarmasin dikembalikan kepada Pangeran Antasari, sepupu Pangeran Hidayatullah. Aling memanggil Antasari agar datang dan bergabung dengan Gerakan Aling.
 Di Kalimantan Selatan pernah berkembang Kerajaan Banjar atau Banjarmasin yang meliputi Ka Perlawanan Rakyat Banjar Terhadap Belanda
Oleh para pengikutnya Antasari kemudian diangkat sebagai pejuang dan pemimpin tertinggi agama Islam dengan gelar: Panembahan Amiruddin Kalifatullah Mukminin.

Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batu bara milik Belanda di Pengaron tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan dikomandoi Pangeran Antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Dengan dibantu para panglima dan pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu.

Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Pangeran Antasari dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Pangeran Antasari. Dan akhirnya Pangeran Antasari memindahkan pusat benteng pertahanannya di Muara Teweh.

Setelah berjuang di tengah-tengah rakyat, Pangeran Antasari kemudian wafat di tengah-tengah pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh bujuk rayu Belanda pada tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang, dalam usia lebih kurang 75 tahun.

Pangeran Antasari telah dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan oleh pemerintah Republik Indonesia berdasarkan SK No. 06/TK/1968 di Jakarta, tertanggal 27 Maret 1968